:: 62 8000 xxx mading@mading.ciuss
School Info
Thursday, 09 May 2024
  • Tema Mading dapat menampilkan informasi dalam text berjalan
  • Tema Mading dapat menampilkan informasi dalam text berjalan
9 April 2022

Cita-Cita Tertinggi

Sat, 9 April 2022 Read 5x Artikel

Bila kita bertanya kepada anak-anak tentang cita-cita, jawaban mereka akan beragam. Ada yang ingin menjadi polisi, guru, PNS, dokter, arsitek, pedagang, bos perusahaan, dan sebagainya.  Jika ada anak yang bingung ketika ditanya tentang cita-cita, apalagi usianya sudah semakin dewasa, kita selaku orang tuanya tentu merasa khawatir. Kita akan berusaha memotivasinya agar segera menemukan cita-citanya. Apalagi ketika ia dihadapkan pada sebuah pilihan, mau masuk ke sekolah mana, mau kuliah di kampus mana, jurusannya apa, dan seterusnya.

Namun, seberapa seringkah kita menasihati anak-anak kita untuk memiliki cita-cita yang jauh lebih tinggi dibanding berbagai macam cita-cita tersebut? Ada seorang sahabat bernama Rabi’ah bin Ka’ab al Aslami radiyallahu ‘anhu. Ia adalah seorang yang sangat fakir, tidak memiliki rumah, dan tidurnya biasa di emperan Masjid Nabawi. Dengan kondisi serba kekurangan seperti itu, dia sibuk berkhidmat dan melayani keperluan Nabi Muhammad ﷺ.

Rabi’ah bin Ka’ab al Aslami radhiyallahu ‘anhu pernah bertutur, “Dahulu aku biasa melayani Rasulullah ﷺ. Aku menyelesaikan dan memenuhi keperluannya sepanjang siang sampai beliau melaksanakan shalat Isya’, kemudian aku duduk di sisi pintu rumah beliau setelah beliau ﷺ masuk ke dalam rumahnya. Aku berkata kepada diriku, barangkali Rasulullah ﷺ tiba-tiba memiliki keperluan. Keberadaan Rabi’ah bin Ka’ab yang standby di dekat pintu rumah Rasulullah ﷺ  menjadikannya siap siaga melayani beliau.

Rabi’ah bin Ka’ab al Aslami radhiyallahu ‘anhu menuturkan, Aku terus mendengar beliau mengucapkan, “Subhanallah, subhanallah, subhanallah wabihamdihi”, ketika aku mulai merasakan kelelahan aku pulang atau ketika merasa kantuk aku tertidur di sana.

Karena melihat semangat dan kesungguhanku dalam membantu dan melayani beliau, suatu hari beliau ﷺ berkata kepadaku, “Mintalah sesuatu kepadaku wahai Rabi’ah! Niscaya aku akan memberimu”.

Mendengar tawaran itu aku berkata kepada beliau, “Biarkan aku berpikir dahulu wahai Rasulullah!

Esoknya, tatkala berjumpa dengan Rasulullah ﷺ  beliau berkata kepadaku, “Apakah keinginanmu wahai Rabi’ah?” Aku menjawab,

”أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِى الْجَنَّةِ”

“Aku memohon agar senantiasa menemanimu di Surga”. (Subhanallah …..!)

Mendengar permohonanku itu, Rasulullah ﷺ takjub lalu bertanya, “Siapakah kiranya yang telah menyuruhmu untuk meminta hal ini?”.

“Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran, tidak ada seorangpun yang menyuruhku. Engkau berkata, ‘Mintalah kepadaku niscaya aku akan memberimu’, aku tahu bahwa engkau memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah, akupun berpikir bahwa dunia ini fana dan akan sirna. Di dunia aku telah memiliki rezeki yang sudah ditentukan yang akan mencukupiku dan mendatangiku. Maka aku memutuskan untuk meminta kebaikan akhiratku”.

Mendengarkan penjelasan Rabi’ah beliau diam sejenak, kemudian berkata kepadanya

إِنِّي فَاعِلٌ، فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ

“Aku akan memenuhi permintaanmu. Tetapi bantulah aku untuk mewujudkan permintaanmu dengan memperbanyak sujud (shalat)“. HR. Ahmad.

Itulah cita-cita tertinggi seorang muslim. Masuk ke dalam surga yang luasnya seluas langit dan bumi.

Tidak ada salahnya bercita-cita menjadi PNS, dokter, pegawai perusahaan besar, dan sebagainya. Namun, jangan sampai waktu dan tenaga kita habis untuk mengejar cita-cita duniawi saja. Lalu untuk mengejar cita-cita akhirat yang lebih besar dari itu semua, malah menggunakan waktu-waktu sisa atau sisa-sisa tenaga.

Menemani Rasulullah ﷺ di surga Firdaus. Itulah seharusnya cita-cita tertinggi yang selalu kita tanamkan dalam diri kita, lalu kita ajarkan pula kepada putra-putri kita tercinta. Sebab, itulah kesuksesan yang hakiki. Sebagaimana Allah ta’ala tegaskan dalam surat Ali Imron ayat 185 :

فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ

“Barang siapa dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke surga; sungguh ia telah sukses”.

Kalo cita-cita kita hanya sebatas memiliki rumah yang besar, kendaraan yang mewah, gelar yang bergengsi, sungguh hal itu sangat mudah diambil lagi oleh Allah. Kebakaran, banjir, atau gempa bisa meratakan rumah kita dalam sekejap. Kendaraan mewah bisa tiba-tiba dicuri saat kita lengah atau terlelap. Gelar-gelar bergengsi tidak lagi bisa disombongkan jika kita sudah terjangkit pikun. Dunia ini memang fana, jangan sampai ia melalaikan kita dari akhirat yang abadi.

Namun, bukan berarti kita disuruh untuk mengisi seluruh hidup kita dengan ibadah berdiam diri di masjid, lalu malas bekerja mencari uang. Bukan. Harta benda, ketika bisa mendukung ibadah, maka wajib kita cari. Sedekah, zakat, atau haji jelas butuh biaya. Akan tetapi, jangan sampai kita lupa, harta benda itu sekadar alat bukan tujuan.

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى

“Kumpulkanlah bekal! Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa”. QS. Al-Baqarah (2): 197.

Masuk ke dalam surga adalah cita-cita yang tinggi. Dan setiap cita-cita tinggi pasti membutuhkan perjuangan dan pengorbanan.

أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ غَالِيَةٌ، أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ الجَنَّةُ

“Ketahuilah bahwa barang dagangan Allah itu mahal. Dan ketahuilah bahwa barang dagangan Allah itu adalah surga”. HR. Tirmidzy

Karena itulah, ketika Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu mengungkapkan keinginannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk masuk surga, beliau tidak serta merta mengabulkan permintaannya. Namun beliau menjawab,

فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ

“Bantulah aku untuk mewujudkan permintaanmu dengan engkau perbanyak sujud (shalat)“.

Nasehat nabawi ini mengajarkan pada kita bahwa cita-cita mulia itu berbeda dengan angan-angan kosong. Cita-cita itu membutuhkan perjuangan.

Allah ta’ala membekali masing-masing dari kita potensi yang berbeda-beda. Ini bagian dari ujian. Apakah kita bisa memanfaatkan potensi yang kita miliki untuk meraih surga?

Ada yang dibekali Allah ta’ala dengan kekayaan harta. Maka beruntunglah orang-orang yang berhasil memanfaatkannya dengan cara menginfakkan hartanya di jalan Allah. Untuk memakmurkan masjid, lembaga pendidikan Islam, majelis ta’lim, menyantuni anak yatim, membantu kaum fakir dan miskin, dan sebagainya.

”إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ”

“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka”. QS. At-Taubah (9): 111.

Ada pula yang dibekali Allah ta’ala ilmu pengetahuan agama. Maka beruntunglah orang-orang yang mau membagi ilmunya tanpa lelah, siang malam berdakwah dan mengajak umat manusia ke jalan Allah yang lurus. Ia akan memperoleh pahala jariyah, selama ilmu tersebut bermanfaat.

This article have

0 Comment

Leave a Comment