Tidak terasa saudaraku, 1442 Hijriah akan meninggalkan kita. Beberapa hari lagi kita akan memasuki tahun baru 1443 Hijriah. Seorang Muslim sejati akan menjadikan moment tersebut sebagai penambah motivasi untuk menjadi lebih baik, lebih bersyukur kepada Allah Swt. dengan meningkatkan kualitas ibadah dan kualitas hubungan ukhuwah antarsesama.
Ada beberapa poin yang semoga kita dapat memaknai tahun baru Islam:
Perayaan yang diselengarakan berulang-ulang (‘ied dalam istilah agama) telah ada sejak masa sebelum Islam. Agama Kristen punya beberapa perayaan, diantaranya Natal dan Tahun Baru. Masyarakat Romawi kuno memiliki perayaan Winter Soltice, orang-orang Persia mempunyai perayaan Nairuz, kaum Arab Jahiliyyah sebagaimana dikatakan oleh Anas bin Malik juga mempunyai 2 hari dalam setahun yang digunakan untuk bersenang-senang, penganut.
Dalam Islam terdapat tiga hari raya yang disebutkan secara gamblang di dalam teks-teks hadits. Tiga hari raya tersebut adalah dua hari raya tahunan, yaitu Iedul Fitri dan Iedul Adha, dan satu hari raya dalam sepekan yaitu hari Jum’at.
Penanggalan dengan kalender Hijriah yang dilakukan oleh Umar -radiyallahu ‘anhu- dibangun atas dasar tafriq bainal haq wal bathil (pembedaan antara kebenaran dan kebatilan). Umar -radiyallahu ‘anhu- mengajak para Sahabat untuk bermusyawarah tentang penanggalan yang akan mereka tetapkan. Di antara mereka ada yang ingin menjadikan awal diutusnya Nabi sebagai standar, tetapi yang lainnya lebih mengedapankan hijrah nabi ke Madinah sebagai standar penanggalan Islam. Umarpun mengatakan: “Kita gunakan hijrah beliau sebagai standar karena hijrah beliau merupakan pembatas/pembeda antara hak dan batil.” Diriwayatkan dari Sa’id bin al-Musayyib beliau mengatakan: Umar mengumpulkan manusia lantas bertanya kepada mereka: “Hari apakah yang akan kita tulis (sebagai standar penanggalan) ?” Ali -radiyallahu ‘anhu- mengatakan: “Dari hari di mana Nabi ﷺ berhijrah dan meninggalkan tanah kesyirikan”, maka Umarpun melakukannya. Adapun penetapan bulan Muharram sebagai bulan pertama dikarenakan kaum Muslimin baru selesai dari manasik haji dan karena ia merupakan bulan Haram. Penetapan hijrah Nabi sebagai awal penghitungan tahun Islam.
Hal yang sejatinya disadari bahwa pergantian tahun merupakan tanda semakin berkurangnya umur seseorang. Kurang bijak rasanya bila pergantian tahun dijadikan sebagai hari untuk bersenang-senang. Imam Hasan al-Bashri dahulu mengatakan: “sesungguhnya engkau adalah rangkaian hari-hari, bila satu hari berlalu maka berkuranglah sebagian dari dirimu .” Memuhasabah (introspeksi) diri adalah langkah bijak dalam mengawali tahun baru karena tentu anak Adam akan senantiasa jatuh dalam salah. Mari kita merevieu kembali apakah yang kurang dari perilaku dan tindak-tanduk kita selama satu tahun yang telah lewat. Sudahkah amal-amal kebaikan yang kita ketahui diamalkan? Sudahkah sikap buruk kita tinggalkan? Sudahkah kita menjalin kedekatan dengan Allah dengan cara yang tepat? dan pertanyaan-pertanyaan senada yang hanya kitalah yang mengetahui jawabannya. Umar bin al-Khattab dahulu pernah mengatakan: “Introspeksilah diri kalian sebelum kalian dihisab (pada hari Kiamat)”
Taubat nasuha akan menghapus dosa-dosa yang telah lampau. Sifat manusia yang senantiasa condong pada hawa nafsu pasti akan menggiringnya kepada dosa dan maksiat. Kiranya kita coba mengandaikan dalam sehari kita mengerjakan satu dosa maka total dosa yang kita lakukan di akhir tahun berjumlah 360 dosa. Sebuah bilangan yang tidak sedikit. Dengan taubat yang benar, maka terbebaslah hamba dari belenggu dosanya, Nabi ﷺ bersabda: “Orang yang bertaubat dari dosa bagaikan orang yang tak memiliki dosa.” [HR. Ibnu Majah: 4250, dihasankan oleh al-Albani].
Berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah melebihi pencapaian tahun lalu. Peningkatan kualitas ibadah tidak akan mungkin bisa tercapai kecuali dengan mempelajari dinul Islam dari dua sumbernya yang murni, Al-Qur’an dan Hadits. Suatu amal ibadah akan memiliki kualitas tinggi bila memenuhi dua syarat: (1) ikhlas dalam melaksanakannya dan (2) sesuai dengan contoh yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bila salah satu dari dua syarat ini hilang dari ibadah maka tertolaklah amal ibadah tersebut. Seorang ulama yang bernama Al-Fudhail bin Iyadh pernah mengatakan: “Amal terbaik adalah amal yang paling ikhlas dan paling benar (sesuai sunnah/contoh Nabi),” kemudian beliau ditanya: wahai Abu Ali (panggilan Al-Fudhail) apa yang dimaksud dengan amal yang paling ikhlas dan paling benar? Beliau menjawab: “Bila amal telah benar namun tidak dikerjakan dengan ikhlas maka amal tersebut tertolak, dan bila dikerjakan dengan ikhlas namun tidak benar maka tertolak pula.” Adapun peningkatan kuantitas ibadah maka dapat dicapai dengan cara mengamalkan kebaikan-kebaikan yang telah diketahui. Sesungguhnya amal kebaikan akan memanggil amal kebaikan lainnya, sebagaimana perbuatan buruk akan memanggil perbuatan buruk lainnya.
Beberapa point di atas dapat kita ringkas dalam kalimat-kalimat berikut:
Penulis: Zaki Hamid Basyarahil, Lc
Leave a Comment